“Jangan
sekali-kali melupakan sejarah” (Jas Merah) begitu kalimat yang terlontar dari
Soekarno. Hal itu yang harus ditanamkan dalam diri pemuda karena kebanggaan dan
citra harga diri bangsa terbentuk dari sebuah sejarah panjang.
Dalam rangka peringatan hari jadi kota Kudus yang ke-465 pada 23 September 2014, Jaringan Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus (JENANK), Minggu (21/9), menggelar napak tilas peradaban Kudus bertema “Senandung Cinta dalam Perjalanannnya”. Dalam acara ini, hadir puluhan peserta yang meliputi mahasiswa dari Universitas Muria Kudus (UMK), Universitas Diponegoro (UNDIP), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus dan masyarakat Kudus. Kami pun bersepeda dari alun-alun kota Kudus menyusuri tempat peninggalan lima peradaban yang ada di kudus, yakni makam Kiai Telingsing, Niti semito, Menara Bubar, Menara Kudus dan kompleks makam Sedo Mukti Sosrokartono.
Dalam rangka peringatan hari jadi kota Kudus yang ke-465 pada 23 September 2014, Jaringan Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus (JENANK), Minggu (21/9), menggelar napak tilas peradaban Kudus bertema “Senandung Cinta dalam Perjalanannnya”. Dalam acara ini, hadir puluhan peserta yang meliputi mahasiswa dari Universitas Muria Kudus (UMK), Universitas Diponegoro (UNDIP), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus dan masyarakat Kudus. Kami pun bersepeda dari alun-alun kota Kudus menyusuri tempat peninggalan lima peradaban yang ada di kudus, yakni makam Kiai Telingsing, Niti semito, Menara Bubar, Menara Kudus dan kompleks makam Sedo Mukti Sosrokartono.
Kegiatan ini merupakan bentuk aksi JENANK
untuk mensosialisasikan sejarah peradaban Kudus yang mulai dilupakan. Selain
itu, juga sekaligus untuk menelisik tentang kebenaran sejarah kabupaten Kudus
dari beberapa versi cerita mulai masa sebelum bernama ‘Kudus’ sampai sekarang.
Tujuan kegiatan yang dilakukan oleh komunitas
yang baru terbentuk sebulan lalu ini selain sebagai bentuk peringatan hari
lahir Kudus yang ke-465, juga sebagai wisata edukasi yang memberi pengetahuan
dan pemahaman kepada warga Kudus terkait sejarah dan peran tokoh peradaban
Kudus.
Diskusi Lima
Abad
Dikemas dengan konsep bersepeda agar lebih sehat
dan ramah lingkungan. Acara ini terangkum dalam beberapa rangkaian kegiatan.
Antara lain pameran foto ‘Koedoes Tempoe Doloe’, diskusi budaya ‘Peradaban
Kudus’ dan pementasan tari kretek. Diskusi digelar di pendopo makam Sedo Mukti.
Narasumber dalam diskusi ini adalah sejarawan
Kudus, Edy Suprapto, S.Ag, M.Hum. Kegembiraan tergambar dari raut wajahnya dan
penuturannya, sebelum memulai diskusi ia
bertutur, “saya senang, akhirnya yang saya cita-citakan terwujud hari
ini. Diskusi budaya di pendopo ini.” Menurut pengakuannya ini adalah diskusi
tentang sejarah kudus pertama yang dilakukan saat peringatan hari jadi kota
Kudus.
Pagi ini kami membicarakan mengenai sejarah
Kudus selama lima abad. Dimulai tentang penetapan tanggal lahir Kudus. Edy
mengungkapkan ada perbedaan presepsi di masyarakat Kudus mengenai penetapan hal
tersebut. Ada dua versi tentang kapan Kudus lahir, satu versi menyebutkan tanggal
23 September seperti yang sekarang selalu dimeriahkan, satu lagi menyebut 2 Oktober
sebagai tanggal lahirnya.
Pembicaraan berlanjut tentang menara.
Akulturasi budaya Islam-Hindhu-Budha terlihat saat mengunjungi Menara Bubar. Dalam
riwayatnya konon menara ini adalah sebuah wihara yang digunakan sebagai tempat
pembakaran mayat orang Hindhu.
Beda halnya dengan Menara Bubar, Menara Kudus
diyakini sebagai bangunan yang dibangun pada masa Sunan Ja’far Shodiq (Sunan
Kudus). Ini terlihat dari tidak ditemukannya ciri-ciri seperti relief yang ada
pada tempat air wudlu di Menara Bubar. Selain itu juga tidak ditemukan makara
dan arca maupun bekas arca. Bentuk menara diyakini Edy sebagai bentuk toleransi
peralihan antara Hindhu ke Islam.
Salam, salah satu peserta,mengaku senang
karena degan kegiatan ini ia mendapat pengetahuan baru tentang Kudus. Edy
berharap melalui diskusi ini masyarakat Kudus semakin cinta dan mengenal
sejarah kotanya. Harapan serupa juga dilontarkan oleh pihak JENANK yang
dipunggawai oleh enam orang yakni Danar Ulil Husnugraha, Mukhlisin, Ade Imani
Arsyad, Moh Rofiuddin, Arif Ashadi dan Ilma Fahris Salam yang berawal dari diskusi
sambil ‘udud plus ngopi’ di jantung kota kretek.
“Semoga komunitas ini dapat menjadi pelopor
dalam nguri-uri sejarah dan budaya
Kudus,” ujar Danar. Di akhir diskusi, pihak JENAK yang diwakili oleh Ade, mahasiswa
Sejarah yang menjai moderator diskusi kembali berpesan untuk melestarikan kota Kudus
tercinta melalui sebuah pantunnya.
Diyah A.F.
*dimuat di harian Kompas, Selasa 30/09/2014
Posting Komentar