Padurenan adalah sebuah
desa kecil di sebelah barat laut Kota Kudus, dengan wilayah tersempit di
Kecamatan Gebog. Semula desa ini bukanlah sebuah desa yang cukup
dikenal di wilayah Kudus.
Baru pada sekitar awal millennium ke
dua, ketika Desa Padurenan ditetapkan sebagai sentra UMKM bordir dan
konveksi, maka secara tiba-tiba Desa Padurenan mulai dikenal publik di
negeri ini. Jika awalnya publik mengenalnya lewat bordir dan konveksi,
maka ketika ternyata Desa Padurenan mempunyai potensi lain yang berbeda
dengan desa lain, maka publik mulai melirik dan memperhatikan
potensi-potensi lain yang dimiliki oleh masyarakat Desa Padurenan.
Untuk kuliner, masyarakat Padurenan mempunyai masakan khas, yang tidak
akan dapat dijumpai di seluruh wilayah Kabupaten Kudus, yaitu, ‘Pecelan
Godong Telo Gendruwo’. Masakan ini mirip dengan urap-urap, tapi beda
pada bumbu, dimana bumbu yang dipakai menyertakan, terasi dan tempe
busuk. Ada satu lagi budaya masyarakat Padurenan yang menjadi pusat
perhatian pada akhir-akhir ini yaitu, Mauludan Jawiiyan
Dilihat
dari sisi kelahirannya Mauludan Jawiyan, diperkirakan muncul sekitar
abad ke 17, seiring dengan kehadiran Raden Muhammad Syarif, yang konon
berasal dari Sumenep Madura, di desa Padurenan. Raden Muhammad Syarif,
yang adalah salah satu pangeran dari Sumenep ini melarikan diri dari
Madura karena tidak mau tunduk pada VOC, sebagai konsekuensi logis dari
kekalahan pemberontakan Trunojoyo melawan VOC. Beliau datang dengan
membawa budaya baru yang islamik, salah satunya yaitu Muludan Jawan.
Meski penamaan Muludan Jawian sendiri diperkirakan baru muncul pada
generasi belakangan, sesudah wafatnya Raden Muhammad Syarif.
Mauludan Jawian adalah sebuah tradisi yang dilaksanakan di Padurenan
pada tanggal 12 Robiul Awwal yaitu tepatnya pada tanggal kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Disebut dengan Mauludan Jawian karena lagu-lagu dalam
pelaksanaan Mauludan Jawian tersebut bernuansa Jawa. Lagu-lagu tersebut
hampir mirip dengan lagu kinanthi dan lagu-lagu Jawa lainnya. Mauludan
Jawian dilaksanakan dengan berzanzi dan syaroful anam.
Mauludan
Jawian dilaksanakan murni dengan suara, tanpa menggunakakn alat seperti
jidur, rebana, atau alat-alat musik Islam lainnya. Hal tersebut
dilaksanakan agar pelaksana Mauludan Jawian khusyu’ dalam berdo’a.
Mauludan jawian mempunyai pengaruh terhadap rohani seseorang untuk
menentramkan hati dan pikiran karena termasuk penghormatan terhadap Nabi
agung Muhammad SAW.
Pembawa tradisi Mauludan Jawian adalah
Raden Muhammad Syarif dari Sumenep. Mauludan Jawian dilaksanakan di
Masjid As-Syarif Padurenan, dimana masjid tersebut dibangun oleh Raden
Muhammad Syarif. Proses pelakasanaan Mauludan Jawian diawali dari
iftitah, tahlil, kemudian Mauludan Jawian dan tidak ada mauidoh terlebih
dahulu. Ditengah acara tersebut ada istirahatnya (makan & minum).
Mauludan Jawian mulai di laksanakan pada jam 8 malam sampai jam setengah
1 malam.
Biasanya setelah tanggal 12 Rabiul Awwal juga diadakan
Mauludan lagi di mushola-mushola dan masjid-masjid di Padurenan yang
lain. Tetapi khusus untuk tanggal 12 Rabiul Awwal itu dilaksanakan di
masjid peninggalan Raden Muhammad Syarif.
Sebenarnya Mauludan
Jawian dahulu itu tidak di daerah Padurenan saja, tetapi ada juga di
daerah Gerjen dan Besito. Tetapi karena tidak ada yang meneruskannya,
maka tradisi Mauludan Jawian tersebut hilang. Dan untuk di daerah
Padurenan ini merupakan suatu keharusan malakukan Mauludan Jawian,
sehingga sampai sekarang Mauludan Jawian tetap ada di Padurenan.
https://www.facebook.com/pages/Jenank/392889740859633?fref=ts
Mauludan Jawian Desa Padurenan Kudus
Posted by Jenank ( Jaringan Edukasi Dan Napak Tilas Kabupaten Kudus ) on Selasa, 26 Mei 2015
CB Blogger |
|
Label:
catatan jenank,
sejarah
Posting Komentar