Industri batik Kudus pada awalnya
diproduksi secara home industri pada tahun 1800 M. Pusat produksi batik
di Kawasan Kudus Kulon ( Kudus bagian barat ). Sesuai dengan
sosiokultural yang berlaku pada masa itu bahwa gadis-gadis Kudus Kulon
dalam menjalani kehidupannya dipingit oleh orang tua mereka. Untuk
mengisi waktu, gadis-gadis tersebut diajari membatik.
Selain
Rama Kembang, Beras Kecer dan Alas kobong, motif kapal kandas merupakan
motif yang digemari para pembeli. Nama kapal kandas terinspirasi pada
bangunan rumah kuno berbentuk kapal ( omah kapal ). Motif tersebut
merupakan motif yang diambil dari sejarah kapal dampo awang milik
sampokong yang kandas di Gunung Muria. Kapal tersebut membawa
rempah-rempah yang berkhasiat sebagai obat-obatan yang sekarang tumbuh
subur di Gunung Muria. Cengkeh, daun tembakau, dan alat pelinting rokok
sebagai simbol Kudus merupakan kota kretek. motif kapal kandas diilhami
dari kandasnya kapal China di kawasan ini, mungkin lebih dari 200 tahun
lalu. Kapal bangsa China tersebut kandas dan penumpangnya yang selamat
kemudian bermukim di lembah Gunung Muria atau Kudus.
Batik kudus
sama seperti batik di daerah pesisir lainnya, amat dipengaruhi budaya
China. Batik Kudus mulai dikenal pada abad 17 dan menjadi bagian
identitas masyarakat Indonesia Kudus pada rentang waktu 1880 hingga
1940. Setelah itu, berangsur-angsur tradisi ini memudar dan puncaknya
pada kurun tahun 1980-2000, Batik Kudus tinggal menjadi artefak budaya
yang nyaris punah di masyarakat. Sejarah mengungkapkan bahwa Batik Kudus
dipengaruhi oleh budaya dari pedagang-pedagang Cina kaya yang
mendatangkan pembatik-pembatik dari Pekalongan. Tak mengherankan rasanya
apabila Batik Kudus disebut sebagai karya multi kultur.
Dalam
kumpulan Batik Kudus dikenal peranakan yang halus dengan isen-isen yang
rumit, diantaranya isen gabah sinawur, moto iwak atau mrutu sewu. Batik-
batik ini berwarna sogan (kecoklatan) seperti umumnya batik Jawa Tengah
dengan corak tombak, kawung, atau parang, tetapi dihiasi dengan
buketan, pinggiran lebar (terang bulan), taburan kembang, kupu-kupu,
atau burung dengan warna-warna cerah seperti merah dan serasi dengan
warna coklat. Ciri dan corak khusus inilah yang membedakan batik Kudus
dengan produksi batik daerah lain. Berbagai motif batik khas kudus
seperti motif Pakis haji, Parijoto, Kapal Kandas, Kaligrafi dan Beras
Tumpah kini mulai didaftarkan untuk memiliki hak cipta ke Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Salah seorang dari segelintir
warga asli Kudus yang mempertahankan dan mengembangkan pola-pola batik
lokal yaitu Yuli Astuti. Yang beralamat di Desa Karang Malang RT 04 RW
02 Nomor 11, Gebog, Kabupaten Kudus. Dalam lembaran-lembaran batik hasil
karya Yuli, tergambar juga motif buah kopi, jahe-jahean, palijadi,
patijotho (sejenis tanaman obat), ikan, dan motif- motif baru hasil
kreasinya seperti menara kudus, salah satu ikon Kota Kudus. Motif buah
kopi juga menjadi andalan selain kapal kandas karena menggambarkan
produk unggulan Kudus yang banyak ditanam di lereng Gunung Muria. Dari
hasil kopi itu pula, tutur Yuli, Kudus menjadi kawasan yang
diperhitungkan pada masa penjajahan Belanda.
Memperkuat pendapat
Yuli, dalam buku- buku sejarah Indonesia disebutkan, awal abad ke-19
saat pemerintahan Gubernur Jenderal Willem Daendels, hasil perkebunan
kopi dari kawasan Gunung Muria diangkut melewati Jalan Raya Pos atau
jalan lintas di pesisir pantai utara Jawa. Kopi menjadi komoditas yang
menjanjikan di dunia perdagangan internasional kala itu. Sampai era
1970-an, masih banyak perempuan membatik di desa-desa di sekitar Kota
Kudus. Batik tulis dengan warna-warna alam dari buah pace, daun mangga
muda, atau kunyit. Batik menjadi pakaian sehari-hari dan barang dagangan
yang cukup laku di tingkat lokal atau antarkota pesisir di Jawa.
Namun, industri lokal ini makin tergerus oleh serbuan batik printing
dan batik cap dari Pekalongan. Di sisi lain, warga Kudus lebih tertarik
menjadi buruh linting di pabrik rokok. Sejak 1980-an praktis batik kudus
tak lagi berkibar, ditinggalkan oleh masyarakat pembuat dan pemakainya.
Kini yang tertinggal hanya pembatik sepuh yang berusia di atas 50
tahun. Itu pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Yuli juga merintis
pelatihan membatik bagi warga desanya Batik tulis karyanya mulai
diminati para perancang busana nasional. Batik hasil karya Yuli juga
telah terdaftar dengan nama paten Muria Batik Kudus pada Hak atas
Kekayaan Intelektual (HKI) dengan nomor registrasi D 002007030389.
Pemasaran hasil membatik Yuli Astuti berjalan lancar dan mendapat
respon sangat menggembirakan di kota-kota besar Indonesia antara lain,
di kota Semarang, Jakarta, Yogya, Solo, maupun Pekalongan. Dan yang
paling menggembirakan adalah Batik Kudus kini tidak lagi menjadi "jago
kandang" di rumah sendiri tetapi sudah melanglang buana ke belahan
negara lainnya di luar Indonesia sampai ke "Negeri Gajah" alias
Thailand. Banyak sekali masyarakat di sana mengagumi Batik Kudus dan
mereka menganggap karya seni mode ini merupakan maha karya yang sangat
mahal serta layak dijadikan inspirasi mode dunia. Bekerjasama dengan
Komunitas Asian Woman Yuli Astuti tidak jemu-jemu untuk terus konsisten
mempromosikan budaya Batik Kudus ini supaya dunia internasional dapat
melihat Indonesia dari sisi lain yang tidak hanya dikenal dengan budaya
wisatanya saja namun ada kebanggaan lainnya yang bisa mereka temukan dan
gali lebih dalam lagi. Dan mereka bisa menemukan keindahan lain dari
Indonesia melalui Batik Kudus.
Sumber :
http://www.kuduskab.go.id/profile.php#
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=435140489967891&id=392889740859633
Eksotika Batik Kudus
Posted by Jenank ( Jaringan Edukasi Dan Napak Tilas Kabupaten Kudus ) on Selasa, 26 Mei 2015
CB Blogger |
|
Label:
catatan jenank,
sejarah
Posting Komentar