Jika
Semarang mempunyai kisah Perang Lima Hari, di Ambarawa ada kisah Palagan
Ambarawa, di Bandung memiliki cerita Bandung Lautan Api dan di Surabaya mempunyai kisah 10 November yang
sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan, di kawasan Muria pun memiliki kisah
serupa.
Dalam rangka peringatan hari pahlawan
pada 10 November 2014, Jaringan Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus (JENANK), Minggu
(21/10), menggelar napak tilas Pertempuran Muria bertema “Kudus, Secercah
Tumpah Darah Daulat Merah Putih”. Dalam acara ini, hadir puluhan peserta yang didominasi
kaum muda. Diantaranya meliputi mahasiswa dari Universitas Muria Kudus (UMK),
Universitas Diponegoro (UNDIP), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus,
beberapa komunitas dan masyarakat Kudus.
Kami mengawali acara dengan berjalan
kaki dari markas Kodim Kudus 0722 ke Stasiun Kudus, yang kini lebih dikenal
sebagai pasar Johar. Setelah mendengar penjelasan sejarah tentang Stasiun Kudus.
Menurut penjelasan Edy Supratno, sejarawan
Kudus, dulu stasiun yang menjadi jalur vital di Kudus ini pernah dihujani tembakan oleh Belanda saat
agresi militernya.
Kami melanjutkan perjalanan ke Tugu
Identitas. Meninggalkan Tugu Identitas,
rombongan napak tilas bertolak ke Markas
Gerilya yang bertempat di desa Besito dilanjut ke Markas Komando Macan putih di
desa Glagah Kulon, Kecamatan Dawe naik truk barak milik Kodim. Jarak yang lumayan
jauh tak memungkinkan untuk ditempuh dengan jalan kaki.
Kegiatan ini merupakan bentuk aksi JENANK
untuk mensosialisasikan tempat-tempat bersejarah di Kudus sekaligus untuk
mengenang perjuangan pasukan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,
terutama di daerah Muria. Juga sekaligus bentuk kegiatan dalam mengisi
kemerdekaan Indonesia. “Sebagai generasi muda sudah sepatutnya kita mengerti
sejarah, terutama sejarah lokal agar dapat lebih menghargai perjuangan sespuh
kita,” ujar Danar, Ketua JENANK.
Tujuan kegiatan yang dilakukan oleh
komunitas pecinta sejarah ini adalah sebagai upaya untuk mengingat tentang
kisah heroik yang pernah terjadi di Kudus, dengan bernapak tilas dibeberapa
titik sentral pertempuran Muria. Sekaligus memperkenalkan dan mengajak
masyarakat untuk mengingat sejarah tentang Kudus yang tak banyak diketahui
karena tidak tercatat di buku-buku pelajaran sejarah.
Diskusi
Sejarah
Selain napak tilas, acara ini juga
menggelar diskusi sejarah di area Monumen Macan Putih. Dalam diskusi yang di
mulai sekitar pukul 10.00 WIB itu
menghadirkan saksi hidup Pertempuran Muria, Mbah Nasir dan sejarawan Kudus, Edy
Suprapto, S.Ag, M.Hum.
Mbah Nasir mengawali ceritanya dengan mengungkapkan
berterimakasih dan kegembiraannya kepada semua yang hadir dalam acara. “Saya
berterimakasih kepada generasi muda, meskipun sedikit, saya bersyukur masih ada
yang mengingat tentang sejarah,” tuturnya.
Hari itu kami memfokuskan membicarakan mengenai sejarah
pertempuran di Muria. Mbah Nasir menceritakan kisah masa lalunya, tentang perang
melawan Belanda yang terjadi di kawasan Muria. Seperti yang kita ketahui, terjadi serangan besar-besaran
baik dari darat, laut dan udara pada agresi militer pertama pada 21 Juli 1947.
Kerusakan fisik tak dapat dihindari, tapi masih beruntung tidak ada korban jiwa
dalam serangan di Muria.
Menyambung cerita Mbah Nasir, Edy
menambahkan, dalam agresi militer kedua pada 19 Desember 1948, tak
tanggung-tangung Kudus dijadikan sebagai pusat pergerakan untuk menguasai
beberapa daerah sekitar seperti. Tak cukup itu, Belanda juga mengambil alih
pabrik gula Rendeng.
Berdasar pada perintah Markas Besar Komando
Djawa pada tanggal 22 Desember 1948, dibentuklah Komando Daerah Muria yang
meliputi tiga wilayah yakni Kudus, Pati dan Jepara. Dengan bermarkas di Desa
Bageng, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati. Beberapa kali pasukan dibawah
komando Kapten Ali Machmoedi pasukannya melakukan serangan terhadap tentara
Belanda. Sampai akhirnya Ali Machmoedi gugur tertempak saat bertempur di Desa
Bergad Pati dan digantikan oleh Mayor Koesmanto.
Seiring kepemimpinan Mayor Kusmanto
dengan pasukan elite yang dinamai pasukan Macan Putih, terjadi pemindahan
markas dari Bergad ke Desa Glagah Kulon, Kecamatan Dawe, Kudus. Pertempuran
sebagai upaya perlawanan terhadap Belanda mulai dari terbentuknya Komando
daerah Muria pada 1947 sampai Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949
menggugurkan banyak kusuma bangsa. Jasad-jasad baik yang diketahui identitasnya
maupun yang tidak dimakamkan di satu tempat di Makam Pahlawan Setya Pertiwi di
Desa Kaliputu Kudus pada 1 Januari 1950.